Kerajaan Tarumanegara ialah salah satu kerajaan tertua yang berada di Nusantara. Bahkan pada masa kejayaannya, kerajaan Tarumanegara ini ialah merupakan kerajaan terbesar yang berada di Nusantara. Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan yang bercorak Hindu di Nusantara. Adapun peninggalan-peninggalan sejarah dari kerajaan Tarumanegara yang menjadi bukti keberadaan kerajaan Tarumanegara di Nusantara. diantara peninggalan-peninggalannya dari kerajaan Tarumanegara yaitu :
1. Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun di temukan berada di Lokasi Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten
Prasasti Ciaruteun adalah sebuah batu peringatan yang berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara sekitar abad V Masehi yang ditandai dengan bentuk tapak kaki Raja Purnawarman.
Prasasti Ciaruteun sekarang diletakkan di lahan berpagar seluas 1.000 m2 yang dilengkapi dengan cungkup di atasnya yang berukuran 8 x 8 m.
Prasasti Ciaruteun ini ditulis memakai huruf Palawa berbahasa Sansekerta, yang di tulis dalam bentuk puisi India dengan irama anustubh yang terdiri dari 4 baris. Berdasarkan pembacaan oleh
Poerbatjaraka prasasti Ciaruteun ini berbunyi :
vikkranta syavani pateh
srimatah purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya
visnoriva padadvayam
yang yang memiliki arti :
"ini (bekas) dua kaki, yang seperti kaki dewa Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang Purnavarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia"
2. Prasasti Jambu atau Koleangkak
Prasasti Jambu ini ditemukan oleh seorang Jonathan Rigg tahun 1854. Prasasti ini terletak berada di atas Gunung Batutulis. Lokasi ditemukannya prasasti Jambu ini masuk di dalam daerah perkebunan karet “Sadeng Djamboe”.
Huruf yang dipahatkan pada sebuah permukaan batu besar yang bentuknya seperti menyerupai segitiga yang sisi-sisinya berukuran sekitar 2-3 meter. Prasasti Jambu ini ditulis dengan dua baris tulisan Pallawa berbahasa Sanskerta.
Kedua baris prasasti ini berukuran panjang sekitar 1,5 cm, adalah sebuah sloka dengan metrum sragdhara dan tiap barisnya berisi dua pada huruf-hurufnya yang masih cukup terlihat jelas yang memiliki ukuran 2-7 cm. Pada batu prasasti Jambu ini terdapat juga pahatan sepasang telapak kaki yang terletak di bagian atas prasasti.
Berdasarkan bentuk huruf Pallawa yang digunakan, prasasti jambu ini diduga berasal dari abad ke-5.
Alih aksara:
(1) sriman=data k?tajño narapatir=asamo yah pura [ta]r[u]maya[?] | namna sripur??avarmma pracuraripusarabhedadyavikhyatavarmmo |
(2) tasyedam=padavimbadvayam=arinagarotsadane nityadak?am | bhaktanam yandripa?am=bhavati sukhakara? salyabhuta? ripu?am
Alih bahasa:
“Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin yang tiada taranya-Yang Termashur Sri Pur??awarman-yang sekali waktu (memerintah) di Taruma, dan yang baju zirahnya terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang telapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya”.
3. Prasasti Kebon Kopi
Prasasti Kebonkopi I) atau Prasasti Tapak Gajah adalah salah satu peninggalan dari kerajaan Tarumanagara. Prasasti Kebon Kopi 1 atau prasasti Kebon Gajah ini melihatkan ukiran tapak kaki gajah, yang mungkin merupakan tunggangan dari raja Purnawarman, yang disamakan dengan gajah Airawata,
Lokasi Prasasti Kebonkopi I ini terletak di Kampung Muara, yang termasuk dari daerah Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor. Prasasti Prasasti Kebonkopi I ini ditemukan sekitar abad ke-19, pada saat dilakukannya penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi. Sampai saat ini prasasti Prasasti Kebonkopi I masih berada di tempatnya ditemukan. Prasasti Prasasti Kebonkopi I berada di koordinat 106°41'25,2" BT dan 06°31'39,9" LS dengan ketinggian 320 mdpl. Area situs ini adalahh kawasan pertemuan tiga sungai, yaitu Sungai Ciaruteun di selatan, Sungai Cisadane di timur, dan Sungai Cianten di barat, serta muara Sungai Cianten yang bertemu dengan Sungai Cisadane di utara. Lokasi ini berjarak sekitar 19 km ke arah Barat Laut dari pusat kota Bogor menuju ke arah Ciampea. Kondisi jalan menuju lokasi ini cukup memadai, tetapi dari jalan raya belum dilengkapi dengan adanya penunjuk jalan. Prasasti Kebonkopi I dipahat di atas sebuah batu datar berbahan andesit yang berwarna kecokelatan dengan dimensi tinggi 69 cm, lebar 104cm dan 164 cm. Di permukaan batu dipahatkan sepasang telapak kaki gajah dan mengapit sebaris tulisan berhuruf Palawa dalam Bahasa Sanskerta.
Sekitar tahun 1863 masehi, Jonathan Rig, yang merupakan seorang tuan tanah pemilik perkebunan kopi di dekat Buitenzorg (sekarang Bogor), melaporkan penemuan prasasti yang di temukan di tanahnya. Penemuan prasasti ini dilaporkan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional Indonesia) di Batavia (sekarang Jakarta). Karena itulah prasasti ini disebut prasasti Kebon Kopi. Di kawasan situs Ciaruteun ditemukan beberapa prasasti. Prasasti Kebonkopi I merupaakan salah satu dari tiga buah prasasti di kawasan ini. Dua prasasti lainnya ialah Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Muara Cianten, keduanya ditemukan tidak jauh dari prasasti ini. Prasasti Kebon Kopi I dan Sebenarnya ada pula Prasasti Kebonkopi II yang pernah ditemukan di lokasi yang berjarak sekitar 1 kilometer dari lokasi ini, namun kini prasasti Kebonkopi II telah hilang.
4. Prasasti Tugu
Prasasti Tugu adalah prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang bercerita tentang peristiwa penggalian di Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan Sungai Gomati oleh Raja Purnawarman pada tahun ke-22 pada masa kepemerintahannya.
Prasasti tugu ini ditemukan di Kampung Batutumbuh, Tugu, Jakarta. Saat ini prasasti tersebut berada di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Prasasti ini pertama kali tercatat dalam laporan Notulen Bataviaasch Genootschap pada tahun 1879. Kemudian pada tahun 1991 atas prakarsa dari P.de Roo de la Faille, lalu dipindah ke Museum Bataviaasch Ggenootschap van Kunsten en Wetenschappen atau Museum Nasional Indonesia.
Prasasti ini ditulis di atas batu besar berbentuk bulat dengan ukuran sekitar 1 meter. Prasasti Tugu bertuliskan dengan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk saloka dengan bahasa Sansekerta dengan metrum Anustubh.
Tulisan prasasti tugu terdiri dari lima baris melingkar mengikuti permukaan batu. Prasasti ini tidak mencantumkan tanggal. Namun berdasarkan gaya kepenulisannya, diperkirakan prasasti tugu ditulis pada sekitar abad ke 5 Masehi.
Prasasti Tugu adalah prasasti terpanjang yang pernah dibuat pada masa Kerajaan Tarumanegara. Prasasti Tugu ini mempunyai keunikan sendiri dengan pahatan tongkat yang diujungnya terdapat trisula seakan berfungsi sebagai pemisah antara awal dan akhir kalimat.
Isi dari Prasasti Tugu yaitu sebagai berikut:
Pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayaull. Pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana. Prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih. Ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka. Pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina.
Terjemahan teks dari isi prasasti tugu yaitu:
"Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memiliki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) dia pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan dan disudahi pada hari tanggal ke 13 paro terang bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan"
5. Prasasti Cidanghiang
Prasasti Cidanghiang ditemukan di daerah tepi Sungai Cidanghiang, di desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Dalam proses penemuannya akses nya cukup susah dan jalan satu-satunya untuk menuju Prasasti Cidanghiang yaitu hanya melewati jembatan bambu. Jembatan itu dibuat dari bambu yang diikat pada bagian bawah untuk pijakan kaki. Bagian samping kanannya untuk pegangan tangan. Ikatan bambu ini dibuat sebagai pengganti jembatan permanen yang hancur setelah diterjang arus deras pada akhir 2017 lalu.
Prasasti Cidanghiang dipahat pada permukaan batuan andesit. Berukuran 3 x 2 x 2 meter. Dengan aksara pallawa dan bahasa sankskerta. Prasasti Cidanghiang diketahui dari laporan kepala Dinas Purbakala, Toebagoes Roesjan, pada 1947. Kemudian pada 1954, ahli epigrafi dari Dinas Purbakala datang ke tempat prasasti ini ditemukan.
Sungguh ironis, prasasti yang telah ditetapkan sebagai benda Cagar Budaya peringkat nasional berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 204/M/2016 kondisinya sangat memprihatinkan. Mulai dari akses yang sulit, penunjuk jalan menuju lokasi pun tidak ada. Upaya penanggulangan debit air sungai pun juga belum efektif.
Sudah sepantasnya, apabila kajian serta pelestarian terhadap kelestarian Cagar Budaya Prasasti Cidanghiang dilakukan secara berkala. Mengingat statusnya yang sudah ditetapkan pada tingkat nasional. Suatu kerugian besar apabila generasi mendatang tidak dapat kembali mempelajari dan memaknai kebesaran dari Sang Purnawarman, panji sekalian raja-raja. Sebagai akibat dari kesalahan kita dalam menyikapi problematika tersebut. (Rendy Aditya Putra E.-Sub Direktorat Registrasi Nasional)
6. Prasasti Muara Cianten
Prasasti ini pertama kali dilaporkan oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864 yang disusul lalu di sususl oleh beberapa laporan dari J.F.G Brumund (1868), P.J Veth (1878), R.D.M. Verbeek (1889, 1891), C.M. Pleyte (1905/1906), G.P Rouffaer (1909), dan N.J. Krom (1915). Isi dari Prasasti Muara Cianten sampai kini belum diketahui karena tulisan yang terdapat di prasasti ini belum bisa baca.
Prasasti Muara Cianten ditulis pada batu berbahan andesit berbentuk hampir lonjong dengan ukuran 2,7 x 1,4 x 1,4 meter. Prasasti ini bertuliskan memakai huruf sangkha, seperti yang digunakan pada Prasasti Ciaruteun-B dan Prasasti Pasir Awi. Dan tulisan pada prasasti ini masih dapat belum dibaca.
7. Prasasti Pasir Awi
Prasasti Pasir Awi merupakan salah satu prasasti yang ditemukan pada tahun 1864 oleh seorang bernama N.W Hoepermans di selatan lereng bukit Pasir Awi, Desa Suka Makmur, Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Bogor. Jawa Barat dengan ketinggian mencapai 559 mdpl.
Prasasti Pasir Awi berbentuk seperti batu alam yang mempunyai gambar seperti ranting dan dahan, dedaunan dan juga buah-buahan. Didalam prasasti Pasir Awi juga terdapat sebuah gambar seperti pahatan sepasang telapak kaki dan gambar tersebut mengarah ke arah timur dan juga ke utara. Prasasti tersebut menghadap ke kawasan bukit dan juga lembah dari arah telapak kakinya..
Selain itu, kawasan penemuan Prasasti Pasir Awi merupakan daerah Cagar Budaya yang sudah dilindungi oleh pemerintah Kabupaten Bogor. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa informasi seputar situs bersejarah tersebut masih belum berkembang dan ada wacana tentang larangan untuk tidak pernah merusak apapun yang berhubungan dengan peninggalan sejarah di kawasan tersebut, sedangkan informasi tentang Prasasti Pasir Awi justru belum diketahui dan ditelusuri lebih lanjut oleh beberapa orang sampai saat ini.
Isi Prasasti Pasir Awi sendiri belum bisa dibaca karena menggunakan huruf ikal atau huruf sangkha seperti prasasti muara cianten.
Arca Rajasari
Arca Rajasari merupakan arca peninggalan kerajaan Tarumanegara yang tidak diketahui secara pasti lokasi penemuannyai. Tapi, arca ini diperkirakan ditemukan di Jakarta.
Arca Wisnu Cibuaya I
Arca Wisnu Cibuaya I ialah peninggalan kerajaan Tarumanegara yang berasal dari abad ke-7 dan memiliki persamaan dengan arca yang ditemukan di Semenanjung Melayu, Siam, dan Kamboja. Selain itu,
Arca Wisnu Cibuaya II
Arca Wisnu Cibuaya II dipercaya berusia sudah sangat tua karena persamaan yang ditemukan dengan arca Seni Pala sekitar abad ke-7 dan 8.
Posting Komentar